Wartawan dan Media Diminta Arif
Temu Wartawan yang diselenggarakan Bagian Humas Setda di Hotel Cendrawasih Sabtu (13/9) menghadirkan Bupati Sumbawa Drs. H.A. Latief Majid, SH. dan Dandim 1607 Letkol Inf. Widagdo AW. Di hadapan puluhan wartawan media cetak dan elektronik, kepala sekolah, pelajar dan pengiat LSM di daerah ini, Bupati kembali mengungkapkan pentingnya seorang wartawan dan media massa untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat dengan mengedepankan etika moral dan bahasa yang santun.
"Saya tidak bermakud mengajari, tapi belajar kepada pengalaman saya sejak kecil, kita sebenarnya sudah ditanamkan tatacara sopan santun itu", katanya. Latief Majid tidak pernah sedikitpun berniat untuk membungkam wartawan meskipun beberapa kali dirinya "dihujat" di media. "Bahkan saya pernah disebut sebagai Bupati Dajjal. Kita semua tahu apa Dajjal itu. Tapi saya tidak marah. Besoknya ketemu dengan wartawannya, ya saya tetap senyum- senyum saja. Kalau sudah sama-sama senyum dan tertawa habislah masalahnya", kata Latief, seraya meminta penulisan berita berimbang tetap dilaksanakan oleh semua wartawan di daerah ini.
Ungkapan tersebut sengaja diucapkan Latief Majid untuk kembali mengingatkan wartawan, agar tetap mengedepankan etika dan bahasa santun dalam menulis. Sikap mental pun disentil Bupati. "Kita sudah tahu, yang ini jelek yang ini baik. Tapi ada juga yang minum minuman keras", katanya. Ketika menjawab pertanyaan salah seorang wartawan tentang "Wartawan seperti apa yang diinginkan Pak Bupati", Latief Majid menyatakan bahwa dirinya tidak punya kesimpulan khas soal itu. "Pokoknya, wartawan yang baik", katanya.
Soal kritikan terhadap pemerintah, Bupati Sumbawa mengakui bahwa pemerintah memang lahan empuk untuk dikritik. Contohnya, ketika pembahasan anggaran negara yang dulu hanya menjadi pekerjaan pemerintah. Tapi setelah melibatkan unsur akademisi, kritikan tetap dilontarkan kepada pemerintah bukan kepada akademisi. "Memang, itulah kenyataannya. Pemerintah adalah lahan empuk untuk dikritik", katanya.
Latief Majid mengaku, dirinya tak terganggu terhadap berbagai opini, dan ide berbau kritik yang disampaikan oleh berbagai kalangan melalui media massa. Bahkan dikatakannya, kritik itu sangat diperlukan, sebagai "cermin" untuk melakukan koreksi diri. "Tanpa cermin, saya tidak akan mengetahui, bahwa rambut saya ini telah memutih", katanya menganalogikan kritik dengan cermin. Kritik itu adalah koreksi karena tidak ada seorang pun yang sempurna didunia ini tambahnya. "Tanpa kritik, Latief Majid ini akan menjadi diktator, tiran dan sewenang-wenang", katanya.
Bagi alumni Universitas Udayana ini, wartawan itu adalah partner yang memberikannya masukan untuk memperbaiki diri, walau diakuinya beberapa dari wartawan itu menulis secara berlebihan. "Walau mereka menulis seperti itu, saya menanggapinya sebagai hal biasa dan menilainya sebagai hal yang manusiawi seperti halnya dengan kekurangan yang ada pada manusia, termasuk saya sebagai Bupati", paparnya.
Terhadap gay penulisan yang berlebihan itu, Latief Majid mengatakan, bahwa hal itu dikembalikan kepada pembacanya, karena hidup matinya media tempat wartawan menulis sangat tergantung dari pembaca.
Soal kritikan, memang itu yang dibutuhkan seorang pemimpin. "Jangankan melalui media massa, melalui SMS saja saya sikapi", akunya sambil mengungkapkan bahwa dirinya baru saja menerima SMS dari KH Zulkifli Muhadly yang mengabarkan tentang kesalnya warga menunggu pembahasan RUU pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat.
"Saya tidak bermakud mengajari, tapi belajar kepada pengalaman saya sejak kecil, kita sebenarnya sudah ditanamkan tatacara sopan santun itu", katanya. Latief Majid tidak pernah sedikitpun berniat untuk membungkam wartawan meskipun beberapa kali dirinya "dihujat" di media. "Bahkan saya pernah disebut sebagai Bupati Dajjal. Kita semua tahu apa Dajjal itu. Tapi saya tidak marah. Besoknya ketemu dengan wartawannya, ya saya tetap senyum- senyum saja. Kalau sudah sama-sama senyum dan tertawa habislah masalahnya", kata Latief, seraya meminta penulisan berita berimbang tetap dilaksanakan oleh semua wartawan di daerah ini.
Ungkapan tersebut sengaja diucapkan Latief Majid untuk kembali mengingatkan wartawan, agar tetap mengedepankan etika dan bahasa santun dalam menulis. Sikap mental pun disentil Bupati. "Kita sudah tahu, yang ini jelek yang ini baik. Tapi ada juga yang minum minuman keras", katanya. Ketika menjawab pertanyaan salah seorang wartawan tentang "Wartawan seperti apa yang diinginkan Pak Bupati", Latief Majid menyatakan bahwa dirinya tidak punya kesimpulan khas soal itu. "Pokoknya, wartawan yang baik", katanya.
Soal kritikan terhadap pemerintah, Bupati Sumbawa mengakui bahwa pemerintah memang lahan empuk untuk dikritik. Contohnya, ketika pembahasan anggaran negara yang dulu hanya menjadi pekerjaan pemerintah. Tapi setelah melibatkan unsur akademisi, kritikan tetap dilontarkan kepada pemerintah bukan kepada akademisi. "Memang, itulah kenyataannya. Pemerintah adalah lahan empuk untuk dikritik", katanya.
Latief Majid mengaku, dirinya tak terganggu terhadap berbagai opini, dan ide berbau kritik yang disampaikan oleh berbagai kalangan melalui media massa. Bahkan dikatakannya, kritik itu sangat diperlukan, sebagai "cermin" untuk melakukan koreksi diri. "Tanpa cermin, saya tidak akan mengetahui, bahwa rambut saya ini telah memutih", katanya menganalogikan kritik dengan cermin. Kritik itu adalah koreksi karena tidak ada seorang pun yang sempurna didunia ini tambahnya. "Tanpa kritik, Latief Majid ini akan menjadi diktator, tiran dan sewenang-wenang", katanya.
Bagi alumni Universitas Udayana ini, wartawan itu adalah partner yang memberikannya masukan untuk memperbaiki diri, walau diakuinya beberapa dari wartawan itu menulis secara berlebihan. "Walau mereka menulis seperti itu, saya menanggapinya sebagai hal biasa dan menilainya sebagai hal yang manusiawi seperti halnya dengan kekurangan yang ada pada manusia, termasuk saya sebagai Bupati", paparnya.
Terhadap gay penulisan yang berlebihan itu, Latief Majid mengatakan, bahwa hal itu dikembalikan kepada pembacanya, karena hidup matinya media tempat wartawan menulis sangat tergantung dari pembaca.
Soal kritikan, memang itu yang dibutuhkan seorang pemimpin. "Jangankan melalui media massa, melalui SMS saja saya sikapi", akunya sambil mengungkapkan bahwa dirinya baru saja menerima SMS dari KH Zulkifli Muhadly yang mengabarkan tentang kesalnya warga menunggu pembahasan RUU pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat.